Menulis Ilmiah Bukan Sekadar Mengutip, Tapi Menyulam Makna

Menulis artikel ilmiah sering kali disalahpahami sebagai tugas yang semata-mata teknis: kumpulkan kutipan sebanyak-banyaknya, susun dalam paragraf, tambahkan metodologi, lalu selesai. Begitu banyak penulis akademik—baik mahasiswa maupun dosen—yang secara tidak sadar telah menukar potensi intelektual mereka hanya demi tumpukan referensi. Tulisan ilmiah kemudian menjadi seperti etalase buku orang lain, bukan karya yang menyuarakan gagasan penulisnya sendiri. Padahal, hakikat sejati dari menulis ilmiah bukan sekadar mengutip, tetapi menyulam makna. Ia bukan sekadar soal jumlah referensi, melainkan tentang bagaimana penulis mampu merajut satu benang gagasan, menghubungkannya dengan teori, data, dan pengalaman hingga lahir satu anyaman pemikiran yang hidup dan berarti.
Menulis ilmiah sejatinya adalah sebuah proses berpikir yang mendalam. Ia tidak berhenti pada pengumpulan informasi, tetapi menuntut keberanian untuk mengolah dan menyampaikan pendapat. Kutipan hanyalah bahan baku—seperti kain, benang, dan jarum dalam dunia menjahit. Tapi tanpa rancangan desain yang jelas dari si penjahit, semua bahan itu hanya akan menjadi tumpukan yang tidak memiliki bentuk. Demikian pula dalam tulisan ilmiah: tanpa visi intelektual dari penulis, semua kutipan hanya akan menjadi sekadar katalog, bukan karya. Betapa sering kita membaca tulisan yang penuh dengan referensi dari jurnal bereputasi internasional, tetapi setelah dibaca, kita tidak menemukan satu gagasan utuh pun dari si penulis. Tidak ada sintesis, tidak ada posisi, tidak ada suara. Tulisan itu menjadi seperti rumah tanpa penghuni: rapi, tapi sunyi.
Tentu kutipan itu penting. Dunia akademik hidup dari dialog antara para pemikir lintas waktu dan tempat. Tapi dialog itu hanya bermakna bila penulis hadir secara aktif di dalamnya—bukan sekadar sebagai pencatat. Bayangkan seorang mahasiswa menulis tentang literasi digital di kalangan pelajar. Ia mengutip teori media dari McLuhan, mengutip konsep digital natives dari Prensky, lalu membubuhkan data dari beberapa survei nasional. Tapi tidak ada satu pun kalimat yang mengaitkan teori-teori itu dengan realitas siswa di sekitarnya—yang sehari-hari mengakses TikTok bukan untuk belajar, tetapi untuk menonton prank. Tanpa refleksi kritis, kutipan itu hanya jadi ornamen akademik yang kosong makna.
Dalam konteks ini, menulis ilmiah harus dimaknai sebagai aktivitas kreatif. Ini bukan tentang membuktikan bahwa kita sudah banyak membaca, tapi tentang bagaimana kita menyambungkan apa yang kita baca dengan apa yang kita lihat, alami, dan pikirkan. Di sinilah letak pentingnya menyulam makna. Menulis adalah seni menghubungkan titik-titik. Gagasan pribadi menjadi titik pusatnya. Teori dan kutipan menjadi penopang. Data dan observasi menjadi benang pengikat. Lalu semua itu dijahit menjadi satu narasi yang kuat, relevan, dan kontekstual.
Kemampuan menyulam makna ini tercermin dalam cara penulis membangun sintesis. Bukan hal yang mudah, memang. Tapi justru di situlah letak kebesaran seorang penulis ilmiah. Ia tidak hanya memparafrase, tetapi berani mengambil posisi. Ia tidak hanya melaporkan hasil penelitian orang lain, tetapi juga menunjukkan bagaimana temuan-temuan itu berbicara dalam konteks yang ia kaji. Misalnya, dalam tulisan tentang komunikasi krisis pemerintah selama pandemi, seorang penulis yang sekadar menyusun kutipan akan berhenti pada model Lasswell atau Coombs. Tapi penulis yang menyulam makna akan berkata, “Ya, model ini penting, tapi tidak cukup menjelaskan mengapa pesan pemerintah justru seringkali membingungkan rakyat.” Ia akan menunjukkan bahwa komunikasi bukan hanya soal isi pesan, tapi juga siapa yang menyampaikan dan bagaimana konteks sosial memengaruhinya.
Hal yang sering dilupakan adalah bahwa tulisan ilmiah tidak harus membosankan. Bahasa yang digunakan tetap bisa menarik, humanis, dan menyentuh akal sekaligus rasa. Tidak jarang kita menemukan artikel ilmiah yang terasa seperti manual teknis: dingin, kaku, dan tidak bernyawa. Padahal kita bisa menulis ilmiah dengan bahasa yang mengalir, tetap akurat namun komunikatif. Misalnya, dalam menjelaskan bagaimana algoritma media sosial membentuk perilaku, kita bisa berkata, “Setiap kali remaja mengklik satu video, sistem algoritma segera menyodorkan video sejenis, menciptakan lorong sempit informasi yang memengaruhi cara mereka melihat dunia.” Ini tetap ilmiah, tapi juga hidup.
Menulis dengan cara ini tidak hanya membuat tulisan lebih enak dibaca, tetapi juga memperlihatkan bahwa penulis benar-benar memahami materi yang ia tulis. Ia tidak sekadar menyalin definisi, tetapi mampu menjelaskan kembali dengan kalimatnya sendiri. Dan ini adalah ciri dari pemahaman mendalam. Seorang penulis yang memahami benar isi pikirannya akan menulis dengan gaya yang jernih. Sebaliknya, tulisan yang kabur sering kali mencerminkan pemikiran yang belum matang.
Dalam berbagai seminar penulisan ilmiah, sering kali saya sampaikan kepada peserta: “Tulisanmu adalah rumah gagasanmu. Jika hanya berisi kutipan, di mana kau tinggal?” Tulisan adalah tempat kita menunjukkan siapa kita sebagai pemikir. Menulis ilmiah bukan sekadar menunjukkan bahwa kita tahu apa kata orang, tetapi juga bahwa kita mampu berbicara bersama mereka. Menyulam makna adalah upaya kita untuk hadir dalam percakapan akademik global dengan membawa suara khas dari pengalaman kita sendiri.
Saya teringat sebuah artikel menarik yang ditulis oleh Heidi Campbell tentang praktik keagamaan di ruang digital. Ia tidak sekadar mengutip teori tentang agama dan teknologi. Ia menunjukkan bagaimana pengalaman beragama berubah ketika dilakukan secara daring. Doa, ibadah, dan komunitas mengalami transformasi. Campbell menyulam makna dengan apik: ia tidak hanya menunjukkan perubahan perilaku, tapi juga bagaimana makna keagamaan itu sendiri dibentuk ulang oleh media. Inilah tulisan ilmiah yang hidup—bukan karena banyaknya kutipan, tapi karena kuatnya sintesis dan keberanian untuk membangun narasi baru.
Pada akhirnya, menulis ilmiah adalah tindakan intelektual sekaligus spiritual. Kita menulis bukan hanya untuk memenuhi kewajiban akreditasi atau mengejar angka kredit. Kita menulis karena kita ingin menyampaikan sesuatu yang bermakna. Kita ingin menyumbang ide. Kita ingin memperluas cakrawala pembaca. Jika kita menjadikan menulis ilmiah sekadar pekerjaan rutin, maka kita akan terus melahirkan tulisan-tulisan tanpa ruh. Tapi jika kita memaknainya sebagai jalan berbagi gagasan, maka setiap paragraf adalah sulaman makna yang memperkaya semesta ilmu.
Maka mari, kita kembalikan semangat menulis ilmiah ke akarnya: sebuah seni menyampaikan pikiran dengan jujur, tajam, dan penuh rasa. Jangan biarkan kutipan membungkam suara kita sendiri. Jadikanlah tulisan ilmiah sebagai ruang untuk menyulam makna—bukan hanya menyusun kutipan.
Leave a Comment